Bebek tiba di Bontang Post dalam kondisiku yang tengah labil, Juli 2013. Keinginan untuk menikah membuatku mulai berpikir meninggalkan Bontang dan kembali ke Jawa. Praktis mesti keluar dari Bontang Post. Saat tengah memikirkan rencana pengunduran diri usai hari raya Idul Fitri 1434 Hijirah waktu itu (yang kemudian batal), seorang laki-laki baru datang melamar bekerja di Bontang Post. Setelah melalui proses wawancara oleh Pak Bos, dia diterima sebagai wartawan. Dia lantas ditempatkan di halaman yang kutangani, halaman kontrak Program Rp 50 Juta Per RT (Prolita). Oleh Pak Bos, aku ditugaskan untuk membimbingnya, melatihnya menjadi wartawan.
Awal pertama melihatnya, kupikir Bebek adalah orang yang sombong. Namun, dalam perjalanan, aku menyadari dia adalah sosok yang humoris dan menyenangkan. Gayanya dalam bertutur sangat jenaka, mirip para Comic Stand Up Comedian yang bisa menimbulkan gelak tawa. Ditambah dengan wajahnya yang tampan, tak lama bagi Bebek untuk mendapat perhatian dari para wartawati Bontang Post. Semua wartawati Bontang Post pada eranya, pernah dekat dengannya, hingga sempat menimbulkan isu-isu percintaan. Meskipun umurnya lebih tua dua tahun dariku, tapi dia memanggilku 'Mas' karena menghormati jabatanku. Lagipula, wajahku kelihatan lebih tua dibandingkan wajahnya yang begitu terawat.
Selama sebulan aku mengajarinya cara menulis yang baik dan benar. Secara spesifik aku memang tidak mengajarkan cara wawancara yang baik padanya. Aku tidak pernah mendampinginya melakukan wawancara, yang semestinya kulakukan dalam proses pembelajaran untuknya. Aku sengaja melakukannya, karena aku memiliiki pengalaman buruk setiap kali melakukan liputan bersama-sama. Meski begitu, pada awal-awal pembelajaran, Bebek dapat memahami cara penulisan yang kuajarkan, dan tidak butuh waktu lama baginya dapat menulis dengan baik sesuai dengan yang kuajarkan. Namun lama kelamaan, cara penulisannya memburuk, membuatku mesti berkali-kali memperingatkannya.
Penulisannya yang berantakan itu membuat banyak redaktur menyerah. Akhirnya, dia diputuskan 'abadi' di halaman Prolita, di bawah kendaliku karena mungkin hanya aku yang bisa memahami tulisannya dengan baik. Walaupun tulisannya tak juga berkembang dari waktu ke waktu, ada satu hal yang membuatku salut dan menjadi pertimbangan para redaktur untuk mempertahankannya: semangatnya. Ya, Bebek memiliki semangat yang tinggi, bahkan mungkin melebihi semangatku dalam mencari berita. Setiap kali ditugaskan mencari berita, dia pasti akan mematuhinya dan terjun ke lapangan. Walaupun ya, masih saja tulisannya membuat para redaktur sakit kepala.
Di bawah kendaliku, sebenarnya tidak ada masalah bagi Bebek. Beritanya selalu ada, dan jumlahnya sesuai dengan yang kuberitakan. Walaupun dia beberapa kali mengerjaiku, memberikan berita-berita kedaluwarsa (aku akan langsung memarahinya bila ketahuan berita itu kedaluwarsa). Hingga kemudian di penghujung 2013, sebuah 'tragedi' membuat ikatanku dengan Bebek menjadi semakin dekat. Aku menyebutnya tragedi, karena sebagai atasannya, semestinya aku bisa membelanya atau mempertahankannya.
Jadi ceritanya, Bebek meminta izin ke Sumatra untuk keperluan lamaran. Ya, dia berencana menikah dengan kekasihnya, walaupun tidak jelas kapan mereka akan menikah. Aku menyarankannya meminta izin pada Redaktur Pelaksana (Redpel) mengenai keinginannya tersebut. Dia lantas mendapat izin sepekan untuk pergi, dan diharuskan kembali di hari Sabtu. Redpel mengatakan, bila pada Sabtu dia belum juga kembali bekerja, akan ada sanksi menunggu. Masalahnya, Bebek tidak dapat memenuhi tenggat waktu tersebut. Praktis, hal tersebut mengundang kemarahan Redpel. Walaupun dia sudah tiba di Bontang, Sabtu dan meminta izin padaku untuk tidak masuk kerja karena sakit.
Minggu malam, melalui sebuah obrolan redaksi tak resmi, Redpel meminta pendapat redaktur lain mengenai sikap yang mesti diambil untuk Bebek. Redaktur tersebut serta merta memberikan usulan pemecatan, yang diiyakan begitu saja oleh Redpel. Mengetahui hal tersebut, aku tak bisa berbuat banyak. Di satu sisi, Bebek telah menyanggupi syarat izin yang diberikan kepadanya untuk mengambil izin. Di sisi lain, sebagai penanggung jawabnya, aku tidak dilibatkan secara khusus untuk memberikan pembelaan bagi Bebek. Karena sudah menjadi keputusan Redpel, aku mengiyakan, namun aku belum bisa menyampaikan informasi tersebut kepada Bebek. Aku menunggu hingga rekomendasi pemecatan sampai pada Pak Bos, untuk menjatuhkan putusan.
Rupanya, obrolan tak resmi itu didengar oleh Rera, wartawati Bontang Post yang dekat dengan Bebek, mungkin bisa dibilang sahabat. Rera menceritakan obrolan tersebut pada Bebek, dan besoknya Bebek langsung meneleponku. Dia menanyakan kebenaran kabar tersebut. Aku belum bisa memberikan jawaban pasti karena belum ada kepastian dari bos. Aku hanya memintanya tetap masuk ke kantor, karena memang belum ada kepastian pemecatan. Baru pada rapat redaksi yang digelar Selasa, redaktur yang mengusulkan pemecatan menegaskan kembali pemecatan tersebut, didukung redaktur lainnya. Aku sempat mempertanyakan keputusan itu karena ketiadaan surat yang menerangkan pemecatan tersebut, namun dimentahkan para redaktur lainnya. Jadi kesimpulanku malam itu: Bebek resmi dipecat. Ironis memang, mengingat aku baru saja merekomendasikan agar gajinya naik kepada Pak Bos.
Malamnya aku begitu galau. Aku tak tahu harus berkata apa pada Bebek. Sebagai penanggung jawabnya, aku merasa tidak berhasil mempertahankannya. Yang kulakukan hanya mengirimkan beberapa SMS berisi permohonan maaf, ucapan terima kasih, dan saran ke depan. Aku menyarankannya untuk menekuni dunia comic atau stand up comedy. Karena aku melihat bakatnya di dunia comic (walaupun dia selalu menampik dan beralasan kalau dia demam panggung). Sayangnya semua SMS-ku itu tidak ada satupun yang dibalasnya. Bebek sendiri, dalam percakapan kami sebelumnya, menerima pemecatan itu, karena dia memang mengakui kesalahannya, tidak datang tepat waktu.
Namun, keesokan harinya, Pak Bos marah-marah dan menelepon semua redaktur. rupanya pagi itu Pak Bos yang baru datang dari bepergian didatangi Bebek yang ingin mengembalikan kamera, karena dia sudah 'dipecat'. Pak Bos yang rupanya sama sekali merasa tidak mendapat informasi pemecatan tersebut menjadi kaget. Dia bertanya pada Redpel (yang sudah pergi berlibur ke Bali) dan para redaktur lainnya, termasuk aku (aku tidak mengangkat telepon karena sedang mandi). Pak Bos marah karena dia tidak mendapat rekomendasi apapun mengenai pemecatan tersebut. Padahal, semestinya setiap keluar-masuknya pegawai, dia perlu mengetahuinya.
Yang terjadi kemudian, Bos menangguhkan pemecatan tersebut. Dia menilai, meski melakukan kesalahan, apa yang dilakukan Bebek masih bisa diterima. Karena yang dilakukan Bebek sudah menjadi haknya dalam pengurusan pernikahan. Kalaupun mendapat sanksi, tidak sampai berujung pemecatan. Apalagi, Pak Bos sebelumnya menerima rekomendasi dariku untuk peningkatan gaji Bebek. Pak Bos pun melakukan investigasi dan Para Redaktur membela diri. Rupanya terjadi kesalahpahaman. Redpel menyebut tidak pernah memberikan keputusan tersebut, dan redaktur yang memberi rekomendasi pemecatan terlalu berani bertindak. Akhirnya, Bebek batal dipecat, dan bertahan sebagai wartawan. (luk/bersambung ke bagian 2)